Kolak Pisang - Fiksi - Chahaya Chinta

 Nama : Chahaya Chinta Chinari Chasih

Katagori : Fiksi






"Satu Ramadan jatuh pada tanggal tiga april 2022." 


Suara menteri agama yang terdengar dari televisi digital 14" itu menggema, memenuhi ruang tengah rumah kami yang kecil. 


Beberapa saat setelah pengumuman itu, layar televisi menampilkan iklan demi iklan. Meski rumah kami riuh oleh banyak suara, keheningan menyusup lekat dalam dadaku dalam artian yang jauh lebih pekat dibanding malam. Aku rindu kampung halaman.


Dulu, menyambut Ramadan kampung kami selalu riuh oleh aneka kegiatan. Obor-obor dinyalakan, senda gurau anak-anak, tarkhim surau, dan yang paling membekas adalah masakan Ibu yang beragam.  


"Nanti buka puasa pakai apa, Bu?" 


"Buka puasa masih lama, Nak." 


"Tapi, ada kolak pisang, 'kan?" 


"Di kepalamu kolak saja isinya." 


Aku menahan senyum saat percakapan-percakapan menjelang berbuka itu terngiang jauh dari kedalaman ingatanku. Rasanya menyenangkan bisa mengais kembali bagian dari masa kecil yang kutahu tak akan pernah bisa kembali.  


Sekarang, aku berada ribuan kilometer dari kampung halaman. Jangankan untuk menanyakan kolak pisang, mengangkat ponsel butut saja dan menelepon ibu aku begitu kepayahan. Aku terlalu takut menghadapi pertanyaan Ibu, "Kalian tidak pulang?" 


Aku tersenyum getir. Pertanyaan singkat itu menjadi terlalu rumit untuk kujawab. Aku sungguh tak sanggup mendengar hela napas berat Ibu di seberang sana.

.

"Bang, kita bisa pulang lebaran nanti?" Tanpa mengangkat wajah dari jahitan kemeja di hadapanku, aku memberanikan diri bertanya. 


Meski sudah tahu apa jawaban Bang Rahman, aku tetap bertanya. Siapa tahu saja suamiku punya jawaban selain kalimat yang kerap ia berikan selama bertahun-tahun. 


"Semoga sempat." 


Aku menarik napas. 


Tak lama, kemeja Bang Rahman yang ketiaknya sobek telah selesai kujahit. Hasilnya lumayan ketimbang aku harus membayar upah tukang jahit. 


"Saya istirahat duluan, Ma." Bang Rahman beranjak dari duduknya, lalu berlalu ke kamar. 


Aku menatap punggung lelaki itu sekilas. Punggung yang lelah atas terpaan hidup di ibu kota. Aku tahu ia pun mengalami pergolakan batin yang sama denganku--rindu kampung halaman. Akan tetapi, sebagai pasangan perantau, kami tak punya cukup modal. Bagi kami, pulang bukan hanya sekadar tiket, tetapi juga ada harga diri yang kami pikul. 


Dulu, kami mengelana ke ibu kota dengan niat memperbaiki nasib. Namun, hingga bertahun kemudian, kehidupan bagai jalan di tempat. Upah Bang Rahman hanya cukup untuk makan dan sedikit menabung pendidikan anak-anak. 


Aku meletakkan kemeja Bang Rahman, lalu beranjak berjalan ke depan mengunci pintu. 

Aku menengadah dan mendapati langit kelam tanpa bulan. Wajah tua Ibu terbayang di sana. 


"Kamu yakin mau merantau?" 


"Yakin, Bu. Mohon doanya biar kami sukses di rantau." 


Percakapan dengan Ibu terngiang. Seketika saja aku merasa berat sekadar menarik napas. Oh, Ibu, hidup ternyata tidak semanis kolak pisang.

Komentar