Godaan Puasa - Chahaya Chinta

Oleh : Chahaya Chinta Chinari Chasih
Katagori : Fiksi
Judul : Godaan Puasa
















Lelah berjalan di pasar. Hari begitu panas, kami yang sedang puasa merasa sangat kehausan. Di pasar ada beberapa warung makanan berdinding kain hingga ke batas tempat duduk, sehingga hanya kelihatan kaki-kaki saja dari pengunjungnya. Orang-orang menyebutnya tempat itu “Warung Sakadup”. 

Bakri mengajakku masuk ke situ, aku agak ragu, namun haus tak tertahankan.
“Ayolah, tak ada yang melihat. Nanti sampai rumah, kamu jangan kelihatan segar. Pura-pura tak berdaya.” Argumen Bakri mencapai logikaku. Akupun mengikuti langkahnya memasuki ke warung itu. Dia memesan teh es dan duduk berjajar orang-orang dewasa disitu. “Ti- tidak.” Aku tak mau duduk, segera ke luar menunggu di depan. 

Tak ada yang puasa orang-orang dewasa itu, mungkin mereka tak tahan, sementara aku seorang pelajar SMP, hanya karena berjalan ke pasar sejauh 2 km ini, untuk membeli perlengkapan prakarya. Apakah aku harus tidak puasa juga karena kehausan ini? Apa akan kukatakan nanti pada ibuku yang telah membangunkanku sahur subuh tadi. Tak akan kukhianati kepercayaan orang tuaku dengan membatalkan puasaku di pasar ini, lalu berdusta ke orang tuaku, berpura-pura lemas. Itu sangat memalukan. Lagian hari sudah pukul 15:00, sebentar lagi waktu berbuka.

 “Ah, cemen kamu, tak berani minum. Kalau kamu pingsan, aku tak mau mengangkatmu,” kata Bakri membuyarkan lamunanku.  Rupanya dia sudah selesai minum.

“Ayo kita pulang,”sahutku sambil menelan air liur, mengurangi keringnya kerongkonganku. Kamipun mulai berjalan lagi, dan berpisah ketika Bakri sudah sampai duluan di rumahnya. 

Meski tertatih-tatih lelah akhirnya aku sampai juga di rumah. Kubuka-tutup pintu kulkas, biar agak dingin badan. Istirahat sebentar lalu mandi. Segar sekali air kurasa, jernih menggoda selera. Kalau kuminum sedikit ini tak  ada yang tahu, pikirku. Tapi, ah tidak, tak akan kurusak puasaku karena godaan yang lebih kecil ini daripada di pasar tadi.

Selesai sholat ashar aku mengaji biar terlupa lapar dan haus ini. Benar saja, tak terasa azan maghribpun tiba. Ya Allah Kau selamatkan puasaku hari ini. Ibu tersenyum bangga melihat aku berbuka puasa dengan tenang dan tak tergesa-gesa menyantap hidangan.

“Mau makan nasi langsung apa salat maghrib dulu?” tanya Ibu, sambil bersiap mau berwudhu. 

“Salat dulu bu, ikut Ayah ke masjid,” sahutku riang, sambil berlari ke masjid di seberang  rumahku.

Siapa bilang tidak ada yang melihat. Aku merasakan di saat pertarungan antara lanjut puasa dan batal itu, sesungguhnya Allah melihatku dan memelukku lembut. Sewaktu kubaca ayat-ayat suci itu sehabis ashar tadi, ada kekuatan energi entah dari mana, hingga aku dimampukanNya menyelesaikan puasaku hari ini.

Komentar